Ada banyak cerita traveling yang belum sempat saya ceritakan sejak blog ini lumutan. Jadi untuk menutup 2016, saya bawakan cerita kecil pendakian bareng temen-temen Illiyin Studio awal Juni kemarin nih. Lama? Maafkan saja lah ya 😓
Temen-temen saya yang deket banget pada ngerti kalau saya adalah jenis orang yang kalo piknik suka dadakan. Semacam tahu bulat gitu. Bukan karena apa-apa sih, tapi seringnya yang direncanain jauh-jauh hari malah berantakan, bubar satu-satu, akhirnya batal. Iya nggak?
Rabu siang, sebelum rapat evaluasi di Illiyin, tiba-tiba saya nyeplos pengen piknik mumpung belum masuk bulan Ramadan. Berhubung puasa mulai Senin depan, berarti kemungkinan piknik tinggal hari Sabtu atau Minggu besok. Akhirnya muncullah ide untuk kemping, biar puas pikniknya! Setelah milih-milih beberapa destinasi, kami memutuskan untuk mendaki Gunung Panderman di hari Jumat, nginep, turun hari Sabtunya.
Siapa yang edan?
Iya, saya...
Persiapan pun ultra kilat. Peralatan disewa dadakan pas berangkat, begitu pun logistik. Berhubung temen saya ada yang biasa mendaki, bisa dimintain sewa peralatan, plus ibunya punya toko kebutuhan sehari-hari, akhirnya saya pesen semuanya di dia!😂
Rombongan kami berjumlah 10 orang, termasuk istri temen dan pacar temen. Saya, yang jomblo, jadi nggak punya sandaran buat anget-angetan di gunung 😢 Sekitar jam 5 kami bertolak dari Universitas Malang. Ambil peralatan dan bahan makanan di Landungsari, plus mampir shalat maghrib di Batu. Jam 7 kami udah sampai di parkiran desa Panderman, shalat isya', lalu mulai membagi muatan. Ada kesalahan manajemen barang sih, tapi ya udah lah, yang penting keangkut semua dan siap berangkat!
Jalan santai sekitar setengah jam, akhirnya sampai di loket tiket masuk alias pos mulai pendakian. Tiketnya cuma 7000 per orang kok. Kata bapak-bapak di loketnya, untuk sampai puncak butuh 2 jam. Saya sih positive thinking, palingan 3 jam. Tapi berhubung ada dua cewek lain yang sepertinya nggak bisa diajak mendaki cepet-cepet, saya lebih optimis lagi buat sampe puncak dalam 4 jam. Lebih optimis lagi ketika tanya ke temen-temen, ternyata yang pernah ke Panderman cuma saya seorang
I love stars.
Alhamdulillah banget, cuaca malam itu cerah, tanpa awan. Polusi cahaya udah nggak ada, masih fase bulan baru, bintang-bintang terlihat jelas. Bahkan Mars dan Jupiter berpendar terang di langit. Biar nggak sotoy, tentu saja saya ngeceknya pake Sky Map. Subhanallah banget langit malam itu!
Sampai di pos pertama Latar Ombo, saya menawarkan kepada teman-teman untuk mendirikan tenda di sini atau lanjut ke puncak. Berkat saran pendaki lain yang lagi kemping, mereka terpengaruh untuk lanjut naik dengan iming-iming nggak sampe dua jam kok kalau ke puncak. Kalian yang sering mendaki pasti wesbiyasah banget sama kata-kata motivasional semacam ini kan?
"Puncaknya udah keliatan tuh"
"Dikit lagi."
"Tinggal dua tikungan lagi"
Iya, belok kanan sama belok kiri. Berapa kali belok? Wallahu alam.
Di pos kedua, Watu Gede, kami memutuskan untuk beristirahat dan ngopi santai. Akunya sih cenderung buru-buru karena pengen cepet sampai puncak. Kenapa? Soalnya menurutku pribadi, lewat tengah malam itu suhu jauh lebih dingin dan maunya sih udah masuk tenda. Lagian badan butuh cukup istirahat sebelum berburu matahari terbit kan. Tapi fisik orang beda-beda, dan kopi yang diseduh menguarkan aroma yang menggoda. Nyerah dah gua.
Setelah puas istirahat dan waktu sudah menunjukkan satu jam sebelum tengah malam, kami melanjutkan perjalanan ke puncak. Alhamdulillah banget ketika kami akhirnya mencapai puncak, tapi tidak ada euforia di sana. Yang ada cuma perut lapar yang protes ingin diisi dan udara dingin yang menampar-nampar kulit, memaksa kami untuk segera berlindung di dalam tenda. Setelah makan, kami beristirahat.
Sekitar pukul lima pagi saya sudah terbangun. Berburu matahari terbit tentu saja! Teman-teman lain, baik di tenda perempuan maupun laki-laki belum ada yang bangun. Ya sudah, mungkin perjalanan tadi lumayan melelahkan bagi mereka. Saya pun keluar tenda, menyambut matahari pucat yang malu-malu muncul dari batas cakrawala.
Begitu matahari sepenuhnya terbit alias udah terang banget, baru temen-temen bangun daaan... berfoto!
Panderman adalah rumah bagi kera berjambul. Ada larangan tertulis untuk tidak memberi makan satwa liar, tapi ya gitu deh, ada aja yang gemes ngasih makan. Ujung-ujungnya, ada oknum kera yang membawa kabur panci berisi mie, mengacak-acak trash bag yang tadinya penuh sampah, bahkan ada yang berani galak pada pendaki. Untungnya hanya terjadi di rombongan lain. Jangan tanya tingkah laku hewan liar ya. Mereka melakukan hal-hal yang tidak patut untuk dipublikasikan di blog lah.
Anyway, boleh nggak nyamain pendaki yang suka buang sampah di gunung dengan kera yang tidak pernah sekolah?
Nah, ada yang menarik dari pendakian ini. Sekitar jam 7 pagi, tiga orang tentara menghampiri para pendaki termasuk anggota rombongan kami. Mereka menginformasikan bahwa akan melakukan kegiatan di area ini, jadi mohon untuk membersihkan area pada pukul 9. Nggak masalah sih, karena kami berencana untuk turun pada jam yang sama.
Bonusnya, ketika turun kami berpapasan dengan sekitar 200 tentara.
Nggak bonusnya, salah seorang teman kami dikejar rombongan kera yang mengamuk sekaligus takut akibat mendadak banyak suara-suara keras dari kegiatan tentara di puncak sana.
Sekian dulu cerita pendek dari Puncak Basundara, Gunung Panderman 💋 Salam lestari!